Pada Masa Kolonialisme Pers Berperan Menyebarkan Tentang – – Hari Pers Nasional diperingati setiap tanggal 9 Februari, diambil dari tanggal lahir Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) tahun 1946. Hari Percetakan Nasional ditetapkan oleh Presiden Soeharto pada tahun 1985 melalui Keputusan Presiden No. 5 Tahun 1985 dalam rangka Hari Percetakan Nasional.
Keinginan untuk menerbitkan surat kabar di Hindia Belanda saat itu memang sudah sangat lama, namun pemerintah VOC selalu memblokirnya. Baru setelah Gubernur Jenderal Gustaaf Willem Baron van Imhoff menjabat, surat kabar “Bataviasche Nouvelles en Politique Raisonnementen” yang berarti “Berita dan Alasan Politik Tentang Batavia” diterbitkan pada tanggal 7 Agustus 1744.
Pada Masa Kolonialisme Pers Berperan Menyebarkan Tentang
Ketika Inggris memerintah Hindia Timur pada tahun 1811, surat kabar berbahasa Inggris “Java Government Gazette” diterbitkan pada tahun 1812. , peraturan dan keputusan pemerintah.
Republika 6 Februari 2022
Pada tahun 1851 “De Locomotief” diterbitkan di Semarang. Surat kabar ini kritis terhadap pemerintah kolonial dan memiliki pengaruh besar. Pada abad ke-19 muncul persaingan dengan surat kabar berbahasa Belanda, surat kabar berbahasa Melayu dan Jawa, meskipun editor Belanda, seperti Bintang Timoer (Surabaya, 1850), Bromartani (Surakarta, 1855) Bianglala (Batavia , 1867 ) dan “Berita Betawie” (Batavia, 1874).
Pada tahun 1907, “Medan Prijaji” terbit di Bandung yang dianggap sebagai pelopor pers nasional karena pertama kali diterbitkan oleh seorang pengusaha pribumi, yaitu Tirto Adhi Soerjo. Ketika pada tahun 1942 Jepang berhasil mengalahkan Belanda dan akhirnya menduduki Indonesia, kebijakan media pun berubah. Semua penerbit dari Belanda dan China tidak diperbolehkan bekerja. Sebaliknya, penguasa militer Jepang menerbitkan lusinan surat kabar.
Saat itu ada lima surat kabar bernama Jawa Shinbundi yang terbit di Jawa, Boernoe Shinbundi Kalimantan, Celebes Shinbundi Sulawesi, Sumatra Shinbundi Sumatra, dan Ceram Shinbundi Seram. Kehidupan pada tahun 1950-an-1960-an ditandai dengan bangkitnya kekuatan politik dari kelompok nasionalis, agama, komunis, dan militer.
Pada masa ini juga lahir sejumlah tonggak sejarah penerbitan Indonesia, seperti LKBN Antara pada 13 Desember 1937, RRI pada 11 September 1945 dan organisasi PWI pada 1946 yang kemudian menjadi cikal bakal Hari Pers Nasional. TVRI, stasiun televisi negara, juga lahir pada tahun 1962.
Buku Sejarah Indo X Smt Ii S
Pada bulan September hingga akhir tahun 1945, kekuatan pers tanah air ditandai dengan terbitnya “Soeara Merdeka” di Bandung dan “Berita Indonesia” di Jakarta, serta surat kabar lain seperti “Merdeka”, “Merda”, ” Bahasa Indonesia”. “. Buletin Berita”, “Warta Indonesia” dan “Suara Indonesia Merdeka”. Dalam gerakan tersebut, jurnalis bahkan memiliki dua peran sekaligus, sebagai aktivis media yang melakukan kegiatan pemberitaan dan informasi untuk membangun kesadaran bangsa dan sebagai aktivis politik. Keterlibatan langsung dalam kegiatan membangun perlawanan rakyat terhadap penjajahan Kedua peran tersebut memiliki tujuan yang sama yaitu mencapai kemerdekaan bangsa dan negara Indonesia Pasca proklamasi kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, wartawan Indonesia masih memainkan permainan yang sulit. peran ganda sebagai media influencer dan aktivis politik Di Indonesia merdeka, posisi dan peran wartawan khususnya, dan pers pada umumnya, sangat penting dalam strategi dalam upaya berkelanjutan untuk mencapai tujuan kemerdekaan.
Keinginan wartawan dan pers Indonesia untuk memiliki forum dan wahana lintas negara pada tanggal 9 Februari 1946 dan berdirinya Persatuan Wartawan Indonesia (Persatuan Wartawan Indonesia). Kelahirannya di tengah perjuangan mempertahankan NKRI dari ancaman kembalinya penjajahan melambangkan persatuan dan solidaritas wartawan Indonesia dalam tekad dan semangat patriotiknya untuk menjaga kedaulatan, kehormatan, dan keutuhan bangsa dan negara. . Meski lahir, jurnalis Indonesia semakin bertekad untuk menunjukkan diri sebagai pemimpin perjuangan nasional melawan kembalinya kolonialisme dan mencegah negara-negara non-kaya yang ingin merongrong NKRI.
Sejarah lahirnya surat kabar dan pers berkaitan dan tidak terpisahkan dari sejarah lahirnya gagasan perjuangan kemerdekaan bangsa. Pada masa revolusi fisik, peran dan kehadiran pers sebagai alat perjuangan semakin terasa pentingnya, sehingga para insan surat kabar dan tokoh media nasional berkumpul di Yogyakarta pada tanggal 8 Juni 1946 untuk menjanjikan pendirian surat kabar. Serikat Penerbit (SPS). Ketertarikan mendirikan SPS pada saat itu berawal dari pemikiran bahwa lini pers nasional harus ditata dan dikelola secara baik dan komersial, mengingat pers kolonial dan media asing pada saat itu masih hidup dan berusaha. untuk mempertahankan pengaruh mereka.
Padahal, SPS lahir jauh sebelum 6 Juni 1946, tepatnya empat bulan sebelumnya ketika ia lahir di Surakarta pada 9 Februari 1946. Karena peristiwa inilah orang membandingkan kelahirannya dengan SPS “kembar siam”. Di ruang konferensi “Sono Suko” di Surakarta pada 9-10 Februari, wartawan dari seluruh Indonesia berkumpul dan berkumpul. Berbagai jurnalis datang, yang merupakan tokoh media yang memimpin surat kabar, majalah, pahlawan jurnalis, dan pahlawan jurnalis. Rapat umum pertama menyimpulkan:
Modul Pjj Smt 1 Rev
8 orang dibantu oleh Bpk. Sumanang dan Sudarjo Tjokrosisworo. Tugas mereka adalah menyusun urusan surat kabar nasional pada waktu itu dan berusaha menatanya dalam pers nasional dalam satu baris, di mana ratusan terbitan dan majalah harian diterbitkan hanya dengan satu tujuan, yaitu “Menghancurkan sisa kekuasaan Belanda, untuk menyalakan api revolusi, dengan mengobarkan semangat seluruh rakyat untuk melawan bahaya penjajahan, untuk mewujudkan persatuan bangsa, terpeliharanya kemerdekaan bangsa dan terpeliharanya kedaulatan rakyat.”
Komisi yang beranggotakan 10 orang itu disebut juga “Panitia Usaha”, yang dibentuk Kongres di Surakarta pada 9-10. Februari 1946. Kurang dari tiga minggu kemudian, komisi bertemu lagi di kota itu, ketika para anggotanya diperintahkan untuk menghadiri rapat Komite Nasional Indonesia, yang berlangsung dari tanggal 28 Februari sampai Maret 1946. Komisi bertemu dan membahas masalah-masalah DPR. tekan. menghadapinya, dan pada prinsipnya menyepakati perlunya segera dibentuk suatu wadah untuk mengkoordinir perkumpulan pengusaha surat kabar yang pada waktu itu disebut Perhimpunan Surat Kabar.
26 tahun kemudian, Presens Grafiske Union (SGP) lahir, antara lain akibat pengalaman pers nasional yang mengalami kesulitan di sektor percetakan pada pertengahan 1960-an. Kesulitan ini meningkat sekitar tahun 1965 hingga 1968 karena menurunnya alat cetak di dalam negeri, sedangkan di luar Indonesia digunakan teknologi grafis mutakhir, proses cetak offset menggantikan proses cetak letterpress atau proses “timah panas”. Mesin dan peralatan letterpress tua, matriks dengan huruf campuran, seni klise yang tidak lagi dapat menghasilkan gambar yang bagus, semua ini berkontribusi pada kesuraman kehidupan di surat kabar nasional. Oleh karena itu, keinginan untuk meminta pemerintah membantu mereka mengatasi kesulitan ini tergugah. Pada bulan Januari 1968, sebuah nota permintaan yang mendapat dukungan dari SPS dan , dikirimkan kepada Presiden Soeharto saat itu, meminta pemerintah untuk membantu memperbaiki keadaan percetakan negara, terutama dalam pembelian bahan-bahan percetakan dan percetakan. . peralatan.
Undang-undang investasi ke dalam, yang memberikan kelonggaran pajak dan pembebasan pajak, serta pengenalan percetakan grafis pada tingkat yang lebih tinggi, mendorong pendirian industri percetakan baru. Setelah berbagai kegiatan persiapan, Seminar Nasional Grafika Pers I akhirnya berlangsung pada bulan Maret 1974 di Jakarta. Keinginan untuk membuat platform pencetakan SGP menjadi kenyataan pada 13 April 1974. Pengurus pertamanya terdiri dari ketua H.G. Rorimpandey, bendahara M.S.L. Tobing, dan anggota Soekarno Hadi Wibowo dan P.K. Oh Boy. Kelahiran SGP dikukuhkan pada konferensi pertamanya di Jakarta, 4-6 Juli 1974.
Historiografi Pendidikan Indonesia
Persatuan Perusahaan Pemasaran Indonesia (P3I) didirikan sebagai anggota Organisasi Pers Nasional berdasarkan Undang-Undang 21 Tahun 1982 tentang Peraturan Pokok Pers. Sebelumnya, bidang periklanan dinaungi oleh Persatuan Biro Periklanan Indonesia (PBRI) yang didirikan pada September 1949 dan dikuasai oleh perusahaan-perusahaan Belanda. Pada tahun 1953, dibentuk organisasi tandingan di Jakarta yang disebut Serikat Biro Periklanan Nasional (SBRN). Setahun kemudian mereka berdua bergabung dengan nama PBRI. Pada tahun 1956, Muhammad Napis menggantikan F. Berkhout sebagai ketua. Pada bulan Desember 1972, rapat anggota PBRI memilih A.M. Chandra sebagai ketua baru menggantikan Napis sekaligus nama asosiasi diubah menjadi Asosiasi Perusahaan Pemasaran Indonesia. Berdasarkan Press Act tahun 1982, organisasi periklanan dinyatakan sebagai bagian dari keluarga media nasional. Dilaporkan pula bahwa sektor bisnis (aspek komersial) pemasaran berada di bawah yurisdiksi Kementerian Perdagangan dan Koperasi, sedangkan sektor operasional (sektor nirlaba) berada di bawah yurisdiksi Kementerian Penerangan.
Saat ini, sebagai wartawan Indonesia pada masa penyadaran kebangsaan, wartawan generasi 1945 yang masih bekerja tetap menjalankan kiprahnya dengan semangat memajukan perjuangan bangsa, meskipun terdapat berbagai kendala dalam berkarya. Menilik sejarah pers nasional sebagai pers perjuangan dan pembangunan, keputusan Presiden Soeharto pada 23 Januari 1985 untuk menetapkan 9 Februari sebagai Hari Kerja Nasional sudah tepat.
Kelahiran Boedi Oetomo pada tanggal 20 Mei 1908 merupakan langkah penting dalam kebangkitan bangsa karena berhasil menghidupkan kembali gagasan-gagasan gerakan modern dan mengambil langkah nyata untuk mewujudkan kemerdekaan negara. Namun, kelahiran Boedi Oetomo merupakan bagian dari perjuangan bangsa Indonesia melawan penjajahan dalam berbagai bentuknya sejak abad ke-16. Aceh, Banten, Jepara, Mataram, Makasar, Ternate dan masih banyak lagi tercatat sebagai mantan prajurit yang mengangkat senjata melawan penjajah. Pada abad-abad berikutnya perlawanan dilanjutkan oleh tokoh-tokoh seperti Teuku Umar, Sisingamangaraja, Tuanku Imam Bonjol, Pangeran Diponegoro, Pattimura dan pahlawan nasional lainnya.
Pendiri konsep Boedi Oetomo adalah Dr. Wahidin Sudirohusodo, redaktur majalah Retno Dhoemilah sejak 1901, sedangkan pendirinya Dr. Soetomo. Tokoh Boedi Oetomo lainnya adalah dr. Tjipto Mangunkusumo, dr. Radjiman Wediodiningrat dan Dr. Danudirdja Setiabudhi (Douwes Dekker). Di awal kelahirannya, Boedi Oetomo secara formal fokus pada masalah kebudayaan dan pendidikan. Anggotanya terbatas di pulau Jawa dan Madura. Namun, setiap gerakan yang menentukan proses pencapaian kemajuan bangsa tidak lepas dari aspirasi politik. Tjipto Mangunkusumo adalah sosok yang mewakili hasrat politik tersebut. Pada Kongres pertama Boedi Oetomo di Yogyakarta bulan Oktober 1908, Tjipto menyerukan transformasi Boedi Oetomo menjadi organisasi politik dan memperluas kegiatannya ke seluruh Indonesia. Dan memang, Boedi Oetomo mampu melebarkan sayapnya.
Bg 8 Ips Ayomadrasah
Jakarta
Pers pada masa reformasi, pers pada masa orde baru, perkembangan pers pada masa demokrasi liberal, pers pada masa demokrasi liberal, pers masa demokrasi liberal, masa kolonialisme, masa kolonialisme di indonesia, pers pada masa kolonial, pers pada masa penjajahan jepang