Mengapa Pertanian Dan Kelautan Dapat Menjadi Penopang Perekonomian Indonesia – Pertanian merupakan tonggak penting dalam budaya manusia. Selama ribuan tahun, tanaman yang bisa dibudidayakan dan hewan ternak yang bisa dijinakkan telah membimbing manusia untuk mencukupi kebutuhan pangan dari satu masa ke masa berikutnya. Perkembangan sektor pertanian juga dipengaruhi oleh munculnya industri pertanian/agroindustri di Eropa dan Amerika dengan basis monokultur pada awal abad ke-20 yang mengantarkan pada era pertanian modern.
Pertanian modern merupakan gabungan dari prinsip agronomi modern, pemuliaan tanaman, agrokimia (seperti pestisida dan pupuk) dan perkembangan teknologi yang dapat meningkatkan produktivitas pangan secara signifikan. Namun, penerapan pertanian modern ternyata berdampak pada kerusakan lingkungan dan ekologi. Beberapa masalah lingkungan dan ekologi yang dihadapi sektor pertanian adalah (1) degradasi lingkungan akibat penggunaan bahan kimia secara masif, (2) hilangnya keanekaragaman hayati akibat monokultur, (3) deforestasi akibat penebangan dari lahan pertanian ke hutan dan lahan gambut, dan (4 ) desertifikasi/penggurunan akibat penggunaan lahan yang tidak dipulihkan. Masalah-masalah ini berkontribusi terhadap pemanasan global karena pelepasan karbon secara besar-besaran ke atmosfer dan hilangnya simpanan karbon dari tanah.
Mengapa Pertanian Dan Kelautan Dapat Menjadi Penopang Perekonomian Indonesia
Saat ini, pemanasan global merupakan isu penting yang dialami dan diperbincangkan di seluruh dunia. Menanggapi hal tersebut, pemerintah di seluruh dunia juga menyepakati Perjanjian Paris pada tahun 2015 untuk mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK), termasuk Indonesia. Sektor pertanian merupakan penyumbang utama emisi GRK. Menurut penelitian yang diterbitkan oleh Intergovernmental Panel on Climate Change/IPCC (2016), sektor pertanian menyumbang antara 10 hingga 12% dari total gas rumah kaca antropogenik, yang terdiri dari gas N2O dan CH4, sedangkan sektor peternakan menyumbang antara 18 hingga 51% dari total gas rumah kaca. gas dengan efek rumah kaca. gas antropogenik, terutama terdiri dari gas CH4. Emisi GRK dari sektor pertanian diperkirakan akan terus meningkat di masa mendatang, sejalan dengan meningkatnya permintaan pangan akibat penggunaan lahan yang marjinal dan konsumsi daging yang meningkat.
Sulut Optimalkan Jalur Ekspor Langsung Ke Jepang
Sejak tahun 2011, Pemerintah Indonesia telah menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 71 Tahun 2011 tentang Penyelenggaraan Inventarisasi GRK Nasional, yaitu kegiatan untuk memperoleh data dan informasi mengenai tingkat, status, dan kecenderungan perubahan emisi GRK secara berkala. dari berbagai sumber emisi (source) dan penyerapannya (sink/sequestration), termasuk cadangan karbon (carbon stock). Berdasarkan Perpres 71 Tahun 2011, sektor pertanian harus menurunkan tingkat emisi sebesar 8 Gg CO2eq. Emisi GRK utama dari sektor pertanian adalah metana (CH4) dengan persentase 67%, diikuti nitro oksida (N2O) dengan persentase 30% dan karbon dioksida (CO2) dengan persentase 3%. Pada tahun 2000, total emisi gas rumah kaca di sektor pertanian mencapai 75.419,73 Gg CO2eq. Sumber utama emisi gas rumah kaca adalah sawah (69%) dan peternakan (28%).
Sebagai komitmen Indonesia untuk menurunkan emisi GRK dan menghilangkan trade-off antara ekonomi dan lingkungan dalam rangka pembangunan berkelanjutan menuju ekonomi hijau, sejak tahun 2017 Pemerintah Indonesia telah meluncurkan Platform Pembangunan Rendah Karbon. Pembangunan Rendah Karbon (PRK) adalah platform pembangunan yang bertujuan untuk mempertahankan pertumbuhan ekonomi dan sosial melalui kegiatan yang menghasilkan emisi dan intensitas GRK yang rendah serta mengurangi penggunaan sumber daya alam.
Pembangunan rendah karbon di sektor pertanian dapat diidentifikasi dalam beberapa kategori, yaitu pengelolaan padi, penggunaan pupuk organik dan biogas untuk menyerap emisi GRK, dan perbaikan nutrisi ternak melalui pakan hijauan dan konsentrat. Penyerapan GRK dalam kegiatan sektor pertanian melalui penggunaan pupuk organik dan biogas. Dalam pengelolaan sawah, penggunaan air irigasi dengan cara menggenangi areal tanam padi secara terus menerus akan lebih banyak melepaskan gas metana (CH4) ke atmosfer, dibandingkan dengan penggunaan air irigasi yang berselang-seling. Sementara itu, emisi pupuk dihitung berdasarkan pupuk yang diaplikasikan ke lapangan yang akan mengeluarkan GRK berupa N2O dan CO2. Pada subsektor peternakan, emisi disumbang oleh fermentasi enterik dan juga oleh penanganan kotoran ternak.
Pemerintah Indonesia telah berkomitmen untuk melakukan upaya mitigasi dan adaptasi emisi GRK. Sejak 2010 hingga 2020, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menerbitkan inventarisasi emisi GRK untuk memantau evolusi emisi GRK di semua sektor, termasuk sektor pertanian.
Kementerian Kelautan Dorong Pemberdayaan Nelayan Kecil
Dalam perkembangannya, emisi GRK dari sektor pertanian mengalami peningkatan yang cukup signifikan. Dari tahun 2015 sampai dengan tahun 2018, akibat pelaksanaan program UPSUS Pajale, luas tanam bertambah (bertambah) dan durasi genangan sawah bertambah (lihat Gambar 1).
Beberapa upaya mitigasi pada subsektor tanaman pangan, khususnya padi adalah dengan melakukan upaya pengairan berselang (program SRI dan PTT), penggunaan varietas padi dengan emisi CH4 rendah, pengolahan lahan tanpa bakar, dan pemupukan berimbang. Selain itu, upaya yang diterapkan pada subsektor peternakan dapat dilakukan melalui Program Biogas Ternak Berbasis Masyarakat (BATAMES), Unit Pengolahan Pupuk Organik (UPPO), serta peningkatan pakan ternak, baik hijauan/kacang-kacangan maupun konsentrat.
Keberhasilan dalam kerangka pembangunan rendah karbon memerlukan alat untuk melakukan pemantauan, evaluasi dan pelaporan (MER), yang telah dikembangkan melalui Aplikasi Perencanaan dan Pemantauan Rencana Aksi Nasional Rendah Karbon (AKSARA) sejak diluncurkannya RAN-GRK di 2011. Upaya mitigasi yang dipantau melalui AKSARA sejak tahun 2011 hingga tahun 2020 tampaknya membuahkan hasil yang cukup signifikan. Di sektor pertanian, subsektor tanaman pangan dan subsektor peternakan yaitu padi yang menggunakan varietas rendah emisi, serta implementasi program UPPO dan BATAMAS berkontribusi terhadap pencapaian aksi mitigasi. Sebelumnya, ada kegiatan lain yang tercatat sebagai aksi mitigasi di sektor pertanian, seperti pengelolaan air melalui modalitas Sistem Intensifikasi Padi (SRI) dan Program Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT). Namun, kegiatan tersebut tidak lagi diprioritaskan oleh Kementerian Pertanian.
Hingga tahun 2020, kontribusi sektor pertanian dalam upaya penurunan emisi GRK diwujudkan dalam potensi pencapaian penurunan emisi GRK secara kumulatif sebesar 11.676,74 Gg CO2-eq. Pencapaian potensi penurunan emisi GRK pada tahun 2020 berkisar antara 11 dan 16.000 Gg CO2-eq.
Jaga Ekosistem, Kkp Tanam Mangrove Di Pesisir Lombok
Pada tahun 2015, potensi keberhasilan penurunan emisi GRK menurun drastis. Salah satu penyebabnya adalah kebakaran lahan. Dampak kebakaran lahan tidak hanya berdampak pada hutan, tetapi juga pertanian sebagai bagian dari sektor berbasis lahan. Potensi penurunan emisi GRK di bidang pertanian antara tahun 2014 dan 2020 juga menurun. Namun jumlah kegiatan pada tahun 2020 merupakan yang tertinggi dengan 344 kegiatan sejak tahun 2010. Total kumulatif kegiatan sampai dengan tahun 2020 adalah 1.780 dengan potensi kontribusi penurunan emisi GRK sebesar 23.188 Gg CO2-eq.
Di sektor pertanian, perkebunan merupakan salah satu subsektor yang perlu mendapat perhatian penuh. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat perkebunan besar di Indonesia didominasi oleh perkebunan kelapa sawit pada 2020. Jumlahnya mencapai 14,4 juta hektare. Komoditas lain yang mendominasi areal perkebunan Indonesia adalah karet (3,6 juta hektar), diikuti kelapa (3,4 juta hektar), kakao (1,5 juta hektar), kopi (1,2 juta hektar), dan tebu (411 ribu hektar). Pokok budidaya perkebunan lainnya yang tersisa memiliki luas gabungan 1,6 juta ha.
Berdasarkan hasil identifikasi pada sub bidang Perkebunan, sumber emisi GRK di perkebunan khususnya kelapa sawit berasal dari pemupukan, perawatan, pemanenan dan pengangkutan buah ke pabrik pengolahan. Emisi GRK juga dihasilkan oleh berbagai jenis input pertanian, seperti pupuk dan pestisida. Beberapa penelitian menyatakan bahwa emisi GRK pada subsektor perkebunan cukup tinggi yaitu rata-rata emisi sebesar 0,08 Ton CO2eq/Ton RFF/Tahun. Emisi ini didominasi oleh minyak sawit.
Bicara soal perkebunan, penanaman di lahan gambut juga perlu mendapat perhatian serius, mengingat lahan gambut menyumbang emisi GRK. Oleh karena itu, diperlukan upaya khusus untuk menurunkan laju emisi GRK subsektor perkebunan, seperti penggunaan pupuk organik sebagai pengganti pupuk kimia, penambahan tandan buah berongga ke dalam tanah, dan intensifikasi pengelolaan dari pintu air hingga rawa gambut. Sebagai pertimbangan ke depan, subsektor perkebunan sangat erat kaitannya dengan pabrik pengolahan yang termasuk dalam kategori Proses dan Penggunaan Produk Industri (IPPU) dan Energi. Artinya, pengelolaan subsektor perkebunan harus dilakukan dengan pendekatan holistik.
Ba Xi 3.3 Pengelolaan Sumberdaya Alam Pdf
Sektor pertanian merupakan sektor pendukung terbesar kedua bagi perekonomian Indonesia. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), produk domestik bruto (PDB) sektor usaha pertanian atas dasar harga berlaku (ADHB) mencapai Rp 2,24 triliun pada 2021. Nilai tersebut memberikan kontribusi 13,28% terhadap PDB nasional. Selain itu, sektor pertanian juga merupakan sektor strategis nasional dari segi lingkungan dan sosial. Pembangunan rendah karbon di sektor pertanian memegang peranan yang sangat penting agar pertumbuhan PDB sektor pertanian tetap positif dan meminimalkan trade-off antara ekonomi dan lingkungan melalui kegiatan pertanian rendah karbon dan meminimalkan eksploitasi sumber daya alam pertanian. seperti tanah, input pertanian dan infrastruktur pertanian.
Agar pembangunan rendah karbon dapat bekerja secara efektif dan efisien di sektor pertanian, beberapa strategi kebijakan telah dikembangkan seperti diuraikan di bawah ini.
Pertama, kesadaran bersama para pelaku pertanian. Strategi ini berfokus pada 1) menyadarkan seluruh pelaku pertanian, baik di tingkat pemerintah pusat maupun daerah, pelaku agribisnis dan petani; 2) mengoptimalkan peran litbang pertanian dalam menyebarluaskan hasil penelitian dan kajian terkait pembangunan rendah karbon sektor pertanian kepada seluruh pemangku kepentingan pertanian melalui jurnal ilmiah nasional, media penerbitan nasional dan jejaring sosial; dan 3) melakukan sosialisasi dengan petani secara rutin, baik melalui penyuluh pertanian, lembaga swadaya masyarakat, maupun LSM nasional/internasional. Kesadaran ini merupakan langkah awal bagi para pelaku pertanian untuk sepenuhnya mendapatkan informasi dan manfaat dari pembangunan rendah karbon.
Kedua, integrasi Pembangunan Rendah Karbon di sektor pertanian dalam sistem Perencanaan Pembangunan Nasional dan Daerah. Strategi ini menitikberatkan pada 1) harmonisasi RPJMN dan RPJMD terkait strategi dan kebijakan pembangunan rendah karbon sektor pertanian dalam tubuh, narasi, proyek strategis prioritas, matriks pembangunan dan arah pembangunan nasional/daerah; 2) pembentukan Kelompok Kerja Pembangunan Rendah Karbon sektor pertanian nasional dan daerah melalui Surat Keputusan (SK) di tingkat nasional (Bappenas) dan daerah (Bappeda); 3) perencanaan dasar dan aksi mitigasi pertanian nasional dan regional berdasarkan data dan terintegrasi melalui model regional/regional tertentu melalui target nasional
Bisnis Indonesia 20 September 2022
Mengapa kegiatan pertanian dapat memunculkan kegiatan perdagangan dan industri, mengapa koperasi merupakan saka guru perekonomian di indonesia, energi kelautan yang dapat dikembangkan menjadi energi alternatif adalah, mengapa zakat diperintahkan dalam perekonomian syariah, mengapa gigi dapat berlubang, dinas kelautan dan pertanian, peranan sektor pertanian dalam perekonomian indonesia, dinas kelautan pertanian dan ketahanan pangan provinsi dki jakarta, peranan sektor pertanian dalam perekonomian, mengapa gigi berlubang dapat menimbulkan rasa sakit, mengapa persatuan dan kesatuan dapat menjadi modal dasar pembangunan nasional, peran pertanian dalam perekonomian indonesia