Kapal Pinisi Dan Kapal Layar Kora-kora Adalah Peninggalan Dari – Banyak yang mengatakan bahwa nenek moyang orang Indonesia adalah pelaut. Ternyata, itu bukan hanya kata-kata. Keberadaan kapal padevakang merupakan salah satu bukti keberanian nenek moyang kita mengarungi lautan.
Seperti peradaban manusia, kapal telah berevolusi. Kapal Padewakang adalah salah satunya. Berawal dari cadik sederhana, muncul padevakang dua layar yang sulit berlayar di laut sebagai kapal dagang dan kapal perang.
Kapal Pinisi Dan Kapal Layar Kora-kora Adalah Peninggalan Dari
Kapal yang diyakini berusia ribuan tahun ini memiliki sejarah dan cerita yang menarik. Simak perjalanan padevakang dalam ulasan di bawah ini.
The Construction Of An Historical Boat In South Sulawesi (indonesia): The Padewakang
Kapal dagang yang digunakan masyarakat Sulawesi Selatan, Makassar, dan Bugis pada abad ke-16 hingga awal abad ke-20, kapal padevakang juga disebut sebagai kapal dagang atau rempah pertama di Nusantara.
Padewakang memiliki struktur yang unik. Ini karena tidak ada unsur logam yang menempel pada lambung kapal. Semua sambungan papan menggunakan ratusan pasak kayu yang dipasang tanpa bersentuhan atau berpotongan.
Ciri khas perahu paddewakang yang membedakannya dengan pinisi adalah layarnya. Jenis tabir yang disebut “sombal tanjaq” atau tabir tanja oleh masyarakat Mandar memiliki corak khas Austronesia berupa dua buah tabir persegi panjang.
Bentuk layar ini juga tergambar pada relief Candi Borobudur. Evolusi dua layar menjadi palari (tujuh perahu layar) merupakan tanda evolusi padevakang menjadi pinisi.
Melihat Perkembangan Kapal Pinisi Dan Budaya Maritim Di Nusantara
Dinilai sangat orisinal, perahu padevakang menjadi andalan Indonesia pada Pameran Archipel yang digelar di Liege, Belgia, sejak Oktober 2017 hingga Januari 2018. Bahkan, salah satu peneliti budaya maritim Indonesia asal Jerman, Horst H. Liebner, mengatakan bahwa padevakang dipilih sebagai objek pameran karena perahu kecil ini adalah yang pertama dan belum terpengaruh oleh kapal-kapal Eropa.
Komoditas utama yang diperjualbelikan para leluhur hingga rela membelah laut adalah timun. Di masa lalu, lebih dari seribu pedagang perahu padevakang akan berlayar dari Makassar ke pantai utara Australia, kawasan Arnhem, Semenanjung Carpentaria, dan pantai Kimberley untuk menjual teripang.
Teripang ini kemudian diperdagangkan dengan pedagang Cina dan penduduk asli Australia, suku Aborigin. Pertemuan ini juga mempercepat pertukaran budaya dan persahabatan antara Indonesia dan Australia. Beberapa penduduk asli pernah berlayar dengan kapal Paddewakang kemudian menikah dan menetap di Makassar.
Selain sebagai kapal dagang teripang, VOC juga berfungsi sebagai padevakang untuk mengantarkan surat dan menjadi kapal patroli. Sebagian besar kapal ini menggunakan meriam tradisional seperti cetbang atau lantaka. Senjata ini mengirimkan padevakang sebagai kapal perang yang sudah berlayar ratusan tahun.
Inilah 7 Jenis Perahu Tradisional Maluku
Salah satu kekuatan kapal Paddewakang yang paling terkenal adalah kekuatan kapal jarak jauh. Dalam penjelajahannya, kapal ini tidak hanya berlayar mengelilingi Indonesia, tetapi juga berlayar hingga ke Filipina, Semenanjung Malaya, Teluk Persia, dan Pulau Madagaskar.
Eksplorasi ini juga berkontribusi pada akulturasi budaya dan percampuran genealogis. Penelitian di Massey University, Selandia Baru, menyimpulkan bahwa sekitar 22 persen dari 266 orang Madagaskar di Afrika memiliki kode genetik yang sama dengan orang Indonesia.
Konon pulau Madagaskar pertama kali dihuni oleh para pendatang dari Nusantara yang menempuh jarak 8 ribu kilometer dari Kalimantan dan Sulawesi untuk mencapai daerah itu. Kapal pesiar tentunya menggunakan kapal Paddewakang sebagai transportasi utamanya.
Padevakang punah sejak menggunakan perahu pinisi yang dianggap lebih efisien. Replika paddewakang pertama dibangun pada tahun 1987 dengan nama Hati Marege. Kapal yang diluncurkan dan berlayar dalam Ekspedisi Berlayar Teripang ke Darwin disimpan di Maritime Museum of Darwin, Australia. Replika selanjutnya terus dibangun untuk kepentingan ilmiah dan antropologi, salah satunya Padewakang Nur Al Marege yang tiba di Teluk Cullen pada Januari 2020.
Ini 5 Kapal Tradisional Khas Indonesia, Bukti Nenek Moyang Seorang Pelaut
Kapal Padevakang sekarang sudah punah secara material. Hanya kenangan, replika dan cerita yang bisa kita bagikan dari masa ke masa untuk mengenang kebesaran nenek moyang kita dan kapal yang mereka bangun.* (COMM/NAK)
LABEL: Kabar Gembira dalam Bahasa Indonesia Kabar Gembira Dari Indonesia Belajar Tentang Sejarah Kapal Padewakang Sejarah Kapal Padewakang Sejarah Kapal Padewakang
Jika Anda ingin membaca lebih banyak artikel dari Sahabat Resmi GNFI, silakan klik tautan ini di arsip artikel Sahabat Resmi GNFI.
Terima kasih telah melaporkan penyalahgunaan yang melanggar aturan atau gaya penulisan di GNFI. Kami terus berusaha menjaga GNFI tetap bersih dari konten yang seharusnya tidak ada di sini. Pada abad ke-16, Portugis memonopoli perdagangan rempah-rempah Indonesia. Salah satu daerah yang menjadi jajahan tentara Portugis adalah Kepulauan Maluku yang pada masa itu sangat kaya akan rempah-rempah.
File:kapal Nur Al Marege, Koleksi Pribadi Muhammad Ridwan Alimudin, 2019.jpg
Meskipun wilayah Kepulauan Maluku telah berdiri Kerajaan Islam, salah satunya adalah Kesultanan Ternate. Negeri yang juga dikenal sebagai Kerajaan Gipsi ini diperintah oleh Sultan Baabullah.
Selama kepemimpinannya, ia melawan kesewenang-wenangan Portugis di Maluku. Perang melawan tentara kolonial Portugis berlangsung sangat sengit, bahkan seluruh warga negara-negara Islam di Indonesia timur ikut serta dalam perang tersebut.
Saat itu, Sultan Baabullah tidak hanya ingin menghancurkan musuh-musuhnya di daerah sekitar Ternate, tetapi juga berniat mengusir Portugis dari seluruh Kepulauan Maluku. Taktik yang digunakan oleh raja Islam ini disebut strategi War Soya-Soya, yang artinya, “membebaskan negara”.
Persiapan armada Kora Kora sebanyak 2.000 kapal dengan 120 ribu prajurit tidak setengah-setengah. Strategi ini dimaksudkan untuk meredam Portugis yang masih menguasai Benteng Gamlamo.
Kora Kora, Kapal Perang Kebanggaan Ternate Yang Usir Portugis Dari Maluku
“Armada pangeran lebih baik daripada kapal layar Pereira (Laksamana Portugis), yang kemudian pergi ke darat untuk diperbaiki, sementara anak buahnya melebihi jumlah Portugis, tiga atau empat banding satu,” dikutip dari buku “Siege”. Benteng Portugis: Kekalahan Kekuatan Portugis oleh Jihad Baabullah di Ternate”, oleh K. Subroto.
Pada tahun 1570-1571, Sultan Baabullah juga mengirimkan lima kapal kora-kora dengan 500 prajurit ke Ambon. Armada ini dipimpin oleh Kapita Kalakinko dan Kapita Ru liei yang misinya adalah mengusir Portugis dari Maluku secara bertahap. Mereka juga bisa merebut wilayah di Pulau Buru, Hitu, Seram dan sebagian Teluk Tomini.
“Dengan armada surat kabar, dia mengunjungi pulau-pulau, meminta untuk memperbaharui sumpah setia kepada pulau-pulau, dan melakukan perjalanan ke Makassar, penguasa wilayah paling kuat di luar Jawa,” tulis K. Subroto dalam bukunya.
Antara tahun 1571-1575, Raja Ternate berlayar mencari Portugis yang mengungsi ke Buton. Dia melarikan diri setelah Kesultanan menyerang Ambon, Hitu, Buru, Seram dan Teluk Tomini.
Kapal Layar Tradisional Asal Indonesia, Ini Daftarnya
Sultan kemudian memenangkan perang dengan Portugis sehingga kekuasaannya diakui oleh Buton. Pada tanggal 31 Desember 1575, Sultan Baabullah berhasil mengusir Portugis dari Maluku.
Kora-kora sebenarnya adalah perahu tradisional dari Kepulauan Maluku, Indonesia. Perahu itu disebut Juanga atau Joanga, digunakan untuk berdagang dan berperang.
Asal usul nama ini tidak diketahui, tetapi mungkin berasal dari kata Arab Qorqora, yang berarti “kapal dagang besar”. Istilah carraca berasal dari Spanyol atau Portugis, tetapi dalam catatan Portugis dan Spanyol tertua di Maluku mereka melaporkan caracora, coracora, carcoa, tetapi tidak pernah carraca.
“Namun secara turun temurun dalam tradisi lisan masyarakat Ternate, kora-kora menjadi alat transportasi para prajurit kerajaan untuk memperluas wilayah dan hubungan diplomatik antar kerajaan. Bahkan sampai ke Mindanao, Filipina Selatan,” ujarnya. Rinto Thaib, Kepala Dinas Sejarah dan Cagar Budaya, Dinas Kebudayaan Kota Ternate
Apa Perbedaan Penggunaan Kapal Di Nusantara Dulu Dengan Masa Sekarang? Materi Belajar Dari Rumah Sd Kelas 4 6
Pembuatan perahu kora-kora dimulai pada masa penjajahan Portugis pada tahun 1500-an. Saat itu Portugis ingin menguasai kekayaan rempah-rempah di Maluku, maka digunakanlah kapal besar Kora-kora sebagai armada angkatan laut yang berbentuk seperti perahu naga Cina.
Selain digunakan untuk melawan Portugis, Spanyol dan Belanda, kapal Kora-Kora juga digunakan sebagai kapal niaga yang digunakan untuk perdagangan antar pulau. Namun seiring berjalannya waktu, kora tergantikan oleh angkutan laut yang lebih modern. Bahkan saat ini, kora-kora dibuat dalam bentuk miniatur.
Panjangnya sekitar 10 meter dan sangat sempit, biasanya terbuka, sangat rendah, beratnya sekitar 4 ton. Ada cadik bambu sekitar lima kaki (1,5 meter) dari setiap sisi, yang menopang platform bambu yang membentang di sepanjang kapal.
Kora rata-rata terbuat dari kayu Gufasa atau Marfala. Namun, ukurannya berbeda dengan perahu yang digunakan masyarakat umum.
Gililife Nov_17 #45 By Gililife
Di Ternate, kora-kora dikenal dengan dua cara, yaitu Juanga dan Kudunga. Wujud Juanga lebih ditujukan untuk para sultan karena dilengkapi dengan atap di tengahnya, sedangkan Kudunga merupakan kora yang digunakan untuk masyarakat umum.
“Kora-kora sangat terkenal pada masa Sultan Babullah karena dikenal sebagai penguasa 72 pulau, mungkin lebih dari itu. Dan salah satu moda transportasi yang digunakan untuk memperluas daya ke wilayah sekitarnya, bahkan ke luar, adalah. dan kora-kora,” ujarnya. Rinto.
Sejak zaman dahulu, para pengemudi dan pendayung perahu dayung tradisional Maluku meneriakkan ‘Mena Muria’, untuk menyesuaikan daya dorong dayung mereka selama ekspedisi di pantai. Artinya ‘kembali’, tetapi bisa juga diterjemahkan sebagai ‘Saya pergi-kita ikuti’ atau ‘satu untuk semua-semua untuk satu’.
Sekitar tahun 1950-an, kora-kora juga digunakan untuk menyambut Presiden Soekarno yang datang ke Ternate. Saat ini Pemerintah Kota Ternate menyelenggarakan Festival Kora-Kora untuk menghidupkan kembali perahu-perahu tempur warga Maluku Utara setiap bulan November.
Perkapalan Dan Jalur Pelayaran
Kota Ternate memiliki banyak cara untuk meningkatkan potensi wisata bahari. Salah satu acara yang paling dinantikan adalah Festival Perahu Kora-Kora.
Dinas Pariwisata Ternate sengaja memilih Kora-Kora karena perahu jenis ini termasuk sejarah Ternate di masa lalu. Festival ini merupakan salah satu cara bagi Pulo Seribu Benteng untuk menghidupkan kembali budayanya.
Sejarah Kora-kora telah lama menjadi inspirasi Dinas Pariwisata Ternate untuk mengadakan event tahunan. Selain keramaian yang datang, acara ini berhasil menarik minat para promotor pariwisata untuk menggelar pameran di kota tersebut.
Kepala Dinas Pariwisata Kota Ternate Samin Marsaoly mengatakan, tahun 2019 ini Festival Kora-Kora akan digelar untuk kedelapan kalinya. Berbeda dengan festival-festival sebelumnya, Festival Kora-Kora tahun ini menggunakan kora-kora yang bentuknya hampir sama dengan aslinya.
Kelas Vii Smp Ilmu Pengetahuan Sosial Waluyo 1
“Tahun ini kami bekerja sama dengan beberapa kabupaten di kawasan pesisir membuat perahu Kora-Kora,” kata Samin dikutip dari
Pembuatan perahu kora-kora dinilai tidak hanya untuk menjawab nilai-nilai sejarah, tetapi juga sebagai edukasi bagi generasi muda agar dapat memahami hakikat kora-kora.
Miniatur kapal pinisi dari kayu, kapal pinisi dari bambu, kapal layar kora kora, kapal pinisi adalah khas dari daerah, miniatur kapal layar pinisi, kapal pinisi dari belanda, kapal pinisi terbuat dari, kapal pinisi berasal dari, miniatur kapal pinisi dari bambu, kapal pinisi berasal dari provinsi, membuat kapal pinisi dari bambu, layar kapal pinisi