Dibawah Ini Yang Bukan Termasuk Benda Jenis Kebudayaan Megalitikum Adalah – Istilah museum memiliki dua pengertian, yang pertama dipahami secara umum, yaitu tempat bertemunya sembilan dewi seni (dewi seni), yang kedua, secara khusus istilah museum mengacu pada nama sebuah lembaga pendidikan pada zaman klasik akhir. periode Aleksandria. Museum memiliki sejarah yang sangat panjang. Kehadirannya dalam perjalanan hidup manusia tidaklah instan. Jika kita melihatnya dari segi waktu, embrio kembali ke zaman prasejarah. Orang neolitik sekitar 3000 SM. Itu berlanjut hingga Zaman Besi, ketika perkakas perunggu dikumpulkan di kuil-kuil Yunani, sebagai bentuk kepatuhan publik, yang kemudian menjadi perbendaharaan perbendaharaan kuil. Pengumpulan benda-benda yang dianggap berharga berlanjut pada masa Kristen klasik, sehingga pada masa itu benda-benda tersebut biasa dimiliki oleh gereja, juga dimiliki oleh para bangsawan dan pedagang (Pearce, 1992). ). Kehebatan seorang raja (penguasa) di masa lalu tidak hanya diukur dari keimanannya dan banyaknya uang yang dimilikinya, tetapi juga dari perlengkapan perang (militer) dan amunisinya, perpustakaan dan koleksi buku yang banyak, serta koleksi . patung dan lukisan yang bernilai seni tinggi. Dengan cara ini, raja akan dihormati oleh teman dan musuh, dihormati oleh orang yang cerdas dan tidak berpendidikan, dan dikagumi oleh pecinta seni dan seniman. Tidak mengherankan jika benda-benda ini dikumpulkan di kerajaan sebagai persembahan wilayah yang diberikan secara sukarela, dan sebagai hasil pampasan perang untuk kawasan suci (Pearce, 1992). Kaisar di Tiongkok membuat dan mengumpulkan koleksi lukisan dan kaligrafi sejak abad ke-3 SM. Sedangkan di Jepang, patung Buddha perunggu ditempatkan di Kuil Todai yang dibangun pada abad kedelapan, sebagai harta karun yang sangat berharga bagi kuil tersebut. Di Eropa, Lorenzo de Medici di Florence memiliki koleksi barang antik yang sangat banyak. Koleksinya disimpan dalam sebuah peti di ruangan tertentu, yang pada abad ke-15 disebut Kabinet Keingintahuan atau Wunderkammer untuk menggambarkan benda-benda di dalam peti yang membangkitkan rasa ingin tahu dan keingintahuan. Kegiatan mengoleksi barang menjadi trend pada masa itu, bahkan sampai sekarang. Biasanya didasari rasa ingin tahu (curiosity) terhadap sesuatu. Orang-orang sangat bersemangat untuk mempelajari segala sesuatu, terutama tentang barang-barang antik atau hal-hal unik yang langka bagi kebanyakan orang Eropa saat itu (Pearce, 1992). Para kolektor benda-benda tersebut, yang dikenal dengan sebutan amatir, mengoleksi benda-benda berdasarkan kegemaran/hobby dalam bidang tertentu (biasanya seni), dan bukan pada koleksi sebagai bahan kajian atau penelitian lebih dalam. Kemudian muncul istilah studio, repository, repository dan theater untuk merujuk pada tempat dimana seni dan keingintahuan tentang sesuatu “dirumahkan” atau dirangkai dan disimpan dalam sebuah gedung. Pada abad ke-18, istilah museum tidak hanya dipahami sebagai institusi yang membuat koleksi, tetapi juga prinsip di balik koleksi dan gagasannya. Pemahaman kemudian muncul bahwa museum adalah sistem konseptual di mana kolektor menginterpretasikan dan menjelajahi dunia tempat mereka tinggal (Pearce, 1992). Kegiatan mengumpulkan, menyimpan, dan merawat barang-barang yang merupakan karya museum seringkali dianggap sebagai karya orang Eropa/Barat saja. Namun ternyata hampir setiap kerajaan di dunia memiliki tradisi menyimpan dan merawat barang-barang yang dianggap berharga atau memiliki arti penting bagi masyarakat. Di antara adat-istiadat non-barat tersebut, mereka bahkan mengetahui cara menyimpan informasi, melestarikan, mengklasifikasikan, menata, dan menyajikan benda-benda sesuai dengan tradisi masyarakatnya masing-masing. Metode ini bisa menyerupai kurasi profesional di museum modern. Namun, praktik konservasi masyarakat lokal (pribumi) sejauh ini luput dari perhatian para museolog dan mahasiswa dari Barat. Hal ini disebabkan dominasi dan keunggulan metode Barat vis-à-vis pengetahuan museum. Pandangan kritis terhadap museum memberikan pemahaman tentang perlunya mendengar suara dari luar dunia Barat. Tujuan dari pendapat ini adalah untuk membebaskan museum dari aturan atau perintah yang berpusat pada Eropa. Jenis-Jenis Museum Masyarakat Lokal Kelenteng dan kelenteng Kelenteng dan kelenteng sering dipandang sebagai museum karena kedua bangunan tersebut berfungsi sebagai tempat menyimpan, menata dan merawat benda-benda berharga. Penjaga biasanya ditempatkan di atas tabib atau biksu, yang bisa disamakan dengan penjaga. Sebagai tempat suci, candi dan pura merupakan pusat ritual keagamaan dan berbagai upacara keagamaan tradisional serta perlengkapannya dilestarikan secara turun-temurun (Kreps, 2006). Rumah Penyimpanan Keramat Masyarakat adat di seluruh kepulauan Indonesia telah membangun rumah khusus untuk menyimpan benda-benda berharga, seperti tengkorak berburu dan jimat. Orang Batak Sumatera menyebut rumah ini sebagai parsoeroan karena merupakan rumah arwah nenek moyang mereka sekaligus menjadi tempat menyimpan peralatan upacara seperti gong, gendang dan keramik. Di Kalimantan Timur lumbung tidak hanya digunakan sebagai tempat menyimpan beras, tetapi juga untuk menyimpan pusaka keluarga seperti gong, gendang, kuningan dan gerabah. Kepemilikan lumbung tidak hanya terbatas pada lingkup keluarga, tetapi juga umum (umum) dalam masyarakat desa yang dikenal dengan desa lumbung. Oleh karena itu, sirkuit ini dapat dianggap sebagai museum komunitas lokal (indigenous museum). Tidak hanya memiliki fungsi yang unik sebagai tempat menyimpan cadangan pangan, desain lumbung juga dirancang khusus untuk melindungi beras yang disimpan dari tikus. Pada suku Maori di Selandia Baru, bangunan tempat menyimpan makanan disebut bendera (Kreps, 2006). Selain spanduk, suku Maori juga memiliki rumah pertemuan adat yang digunakan untuk menyimpan berbagai jenis benda pusaka seperti patung, lukisan, senjata tradisional, dan benda seni. Bahkan di Kepulauan Solomon ada tradisi yang bisa disamakan dengan museum. Banyak rumah yang difungsikan untuk menyimpan dan menata benda-benda berharga sebagai bahan ajar, transfer ilmu, dan pelestarian kesenian daerah. masyarakat setempat menggunakan istilah tabu sebagai sistem keamanan. Status tabu ditetapkan dengan tujuan membatasi akses dan penggunaan (Kreps, 2006). Prinsip tabu juga dikenal di Ghana, Afrika. Di Ghana, ada sebuah hutan yang dianggap keramat, yang terlarang bagi siapapun kecuali pada acara-acara ritual tertentu. Ukurannya tidak terlalu besar dan dipercaya sebagai tempat tinggal nenek moyang mereka. Sejak munculnya kolonialisme Barat, upacara-upacara tersebut telah ditinggalkan oleh masyarakat Ghana, dan kini hutan tersebut telah disulap menjadi museum botani yang menyimpan keanekaragaman hayati wilayah Ghana (Boaten, 1998). Di Papua Nugini dikenal dengan nama Haus Tambaran atau Rumah Laki-Laki, yaitu sebuah bangunan berdekorasi mewah yang digunakan sebagai tempat pertemuan ritual yang berkaitan dengan upacara inisiasi bagi laki-laki. Tempat ini juga merupakan pusat produksi perlengkapan upacara serta tempat menyimpan dan menata perlengkapan tersebut. Dengan cara ini, generasi muda sebagai penerus tradisi dapat belajar tentang sejarah, kepercayaan dan warisan mereka dalam haus tamparan ini. Pada awalnya, pria dan wanita yang belum tahu tidak diizinkan masuk ke dalam kehausan akan tamparan. Namun, ketentuan ini kini telah diubah sebagai penyesuaian dengan kondisi zaman. Akses yang terbuka lebar memungkinkan setiap orang untuk masuk dari luar suku, termasuk wisatawan (Kreps, 2006). Dalam hal kepemilikan, museum Barat menganggap benda koleksi sebagai milik umum atau museum, tetapi di museum komunitas lokal (museum adat) tidak demikian. Dengan demikian, di beberapa museum Barat yang mengoleksi benda-benda etnografis yang bukan berasal dari Barat, kepemilikan koleksi tetap berada pada individu, keluarga atau komunitas tertentu sebagai bentuk kepemilikan seperti di museum pribumi. Pada beberapa benda yang dianggap keramat, tidak semua orang bisa melakukan penafsiran. Misalnya, di Museum Pusat Provinsi Kalimantan, petugas museum sering meminta bantuan seorang basir untuk membantu mereka menafsirkan hal-hal yang berkaitan dengan upacara keagamaan, karena seorang basir selain dihormati juga dianggap sebagai orang yang kompeten dan properti. Pengetahuan tentang objek (Kreps, 2006). Museum pribumi berbeda dari museum Barat dalam hal keasliannya, bagaimana koleksi digunakan atau diperlakukan, dan audiensnya. Koleksi museum masyarakat lokal pada umumnya bercampur dengan tradisi yang masih hidup di masyarakat, berbeda dengan koleksi museum etnografi Barat yang koleksinya diambil dari akar sosial masyarakat pemiliknya dan tidak berfungsi sebagaimana aslinya. Museum dalam tradisi Barat membuat makna dan konteks baru bagi koleksinya sebagai akibat pemisahan koleksi etnografi dari konteks aslinya. Pada dasarnya, baik di museum Barat maupun di museum komunitas lokal, benda-benda koleksi berperan sebagai sarana komunikasi dan transfer pengetahuan melalui cerita atau sejarah yang dapat diceritakan dalam koleksi (Kreps, 2006). Tidak dapat disangkal bahwa asal-usul kegiatan museum dapat ditemukan dalam kebiasaan non-barat. Philip Cash Cash, seorang sarjana dari Amerika mengatakan bahwa hubungan antara manusia dan benda adalah hubungan sosial, jadi kurasi adalah salah satu bentuk praktik sosial. Ia kemudian mendefinisikan kurasi sebagai praktik sosial yang tertanam dalam prinsip hubungan permanen antara objek dan lingkungan manusia. Definisi ini berimplikasi pada hubungan antara manusia dan benda, bukan sekedar konstruksi sosial, melainkan tradisi atau kebiasaan yang terus berlangsung dari waktu ke waktu. Dalam konteks Indonesia misalnya dengan apa yang disebut heritage. Sangat menarik untuk mengatakan bahwa pada dasarnya apa pun dapat digunakan sebagai warisan. Namun tidak semua yang diwariskan dapat disebut warisan, tergantung dari sikap sosial masyarakatnya (Kreps, 2006). Dalam tradisi keraton, ada pengadilan yang bertanggung jawab memelihara ahli waris. Keris adalah salah satu ahli waris yang populer. Perawatan keris harus dilakukan dengan hati-hati, karena keris dipercaya memiliki khasiat. Untuk menjaga keawetannya, keris secara berkala direndam atau dicuci dengan jeruk nipis (Citrus aurantiifolia), dioles dengan minyak khusus berwarna, dan disimpan kembali dalam wadahnya yang disebut warangka. Praktek jamasan dapat dilihat sebagai cara non-Barat dalam melestarikan warisan (Ari. et al., 2012) Pengakuan dan penghormatan terhadap cara-cara tradisional dalam merawat suatu benda dapat dilihat pada beberapa perkembangan terakhir.
Berikut ini yang bukan termasuk jenis iklan elektronik adalah, benda yang termasuk konduktor, dibawah ini yang bukan termasuk rukun haji adalah, yang termasuk benda gas, yang bukan termasuk actuator di bawah ini adalah, benda yang termasuk isolator, dibawah ini yang bukan termasuk perangkat dalam komunikasi voip adalah, dibawah ini yang bukan termasuk protein hewani adalah, dibawah ini yang bukan termasuk jenis asuransi yaitu, dibawah ini yang tidak termasuk pupuk anorganik adalah, dibawah ini yang bukan termasuk zakat mal adalah, berikut ini yang bukan termasuk kelompok program microsoft office adalah